Kategori

Jumat, 06 Juli 2012

Materi Kuliah Biokimia II


PENDAHULUAN
Perkembangan ilmu pengetahuan berjalan dengan sangat pesar pada saat ini.  Sebagai bagian dari ilmu pengetahuan, biokimia telah berkembang sangat pesat dalam beberapa dekade terakhir ini.  Berbagai rangkaian reaksi biokimia utama telah semakin diketahui secara rinci.  Demikian juga dengan pengetahuan tentang berbagai biomolekul, khususunya makro-biomolekul, baik dari segi struktur maupun mekanisme reaksinya semakin banyak diketahui.
Sel merupakan suatu unit terkecil dimana berbagai biomolekul dibuat (sintesa) dan berperan.  Semua biomolekul tersebut menyusun suatu sistim yang sangat kompleks dan saling menunjang satu sama lainnya yang dikenal sebagai kehidupan.  Sel dapat berdiri sendiri sebagai satu mahluk hidup yang bebas dari sel lainnya.  Sel juga dapat berinteraksi dengan sel sel sejenis lainnya membentuk jaringan.  Selanjutnya, berbagai jaringan akan membentuk sistim lainnya yang dapat berupa organ.  Sistim kehidupan yang terakhir inilah yang dikenal sebagai mahluk hidup tingkat tinggi seperti tumbuhan dan binatang.
Topik topik yang dibicarakan dibawah ini meprupakan bagian bagian dari topik bahasan yang mendapat perkembangan pesat selama beberapa dekade terakhir.  Dengan demikian, topik bahasan yang sudah menjadi bahan bahasan sejak lama tidak akan dibahas lagi.

BIOLOGI  MOLEKULAR DARI MEMBRAN
Membran sel merupakan bagian yang sangat penting dalam sistim kehidupan sel.  Membran merupakan bagian yang melindungi cairan sel (sitoplasma) sehingga tetap merupakan suatu sistim tertutup.  Pada sel eukariotik, membran membagi sel lebih jauh atas bagian bagian tertentu sehingga setiap bagian dapat mempunyai lingkungan yang khusus seperti pH yang lebih rendah dari bagian sel yang lainnya.
Hampir semua membran sel merupakan membran berlapis dua dengan ketebalan sekitar 60 Ǻ.  Masing masing lapisan tersusun pada umumnya oleh molekul fosfolipid.  Molekul molekul ini tersusun sedemikian rupa sehingga membentuk suatu lembar lapisan dengan salah satu sisih bersifat hidrofilik (suka air) dan sisih yang lainnya bersifat hidrofobik.  Bila kedua lapisan disusun satu sama lainya dengan gugus hidrofobik saling berhadapan maka akan terbentuk membran berlapis dua.
Membran tidak hanya tersusun dari molekul fosfolipid saja tetapi juga berbagia senyawa lipid lainnya seperti glikolipid dan kolesterol (Animasi Membran Biologi; Gambar 1).  Protein merupakan juga bagian dari banyak membran.  Ukuran molekul protein yang besar menyebabkan sebagian protein menempati kedua permukaan membran.
 Gambar 1.  Membran organela dalam sitoplasma

Membran bukan merupakan lapisan yang sangat kaku tetapi merupakan lapisan yang dinamik yang digambarkan sebagai model cairan mosaik.  Membran ini merupakan cairan dimana molekul lain seperti protein dapat mengambang dan berenang ke segala arah.  Berbagai protein yang berasosiasi dengan dengan membran dapat dibedakan atas:
  1. Protein integral atau intrinsik adalah protein yang terikat kuat pada membran melalui hidrofobik interaksi dan hanya dapat dilepas dengan penghancuran membran.  Glikoforin A pada eritosit sel merupakan contoh protein jenis ini.  Pusat reaksi fotosintesa mengandung sebelas protein transmembran.
  2. Protein yang terikat secara kovalen dengan lipid.  Keadaan inilah yang memungkinkan protein seakan melekat pada permukaan membran.  Protein yang terikat pada likosilfosfatidilinositol (Protein-GPI) terdapat banyak pada permukaan permukaan luar sel sel eukariotik.  Bagian lipid dari GPI-Protein adalah fosfatidil inositol.
  3. Protein periferal atau ekstrinsik adalah protein yang melekat pada permukaan membran melalui ikatan yang lemah dan dapat meninggalkan permukaan dengan mudah.  Contoh protein seperti ini adlah sitokrom c.

Fungsi membran adalah:
  1. Melindungi cairan dalam sel (sitoplasma) dan cairan organel lainya seperti mitokondria, kloroplas dan lisosom yang berada dalam sel.
  2. Menyokong protein sehingga berada pada posisi tertentu didalam sel atau organela.  Berbagai protein terikat atau berasosiasi dengan membran endoplasmik retikulum.  Pada biosintesa polimerisasi protein pada permukaan endoplasmik retikulum kasar merupakan contoh dari fungsi membran.  Reseptor yang terdiri dari molekul protein dan GTP merupakan bagian dari membran.  Reseptor ini akan mengenali signal dari protein lainnya yang berasosiasi dengan ribosome dan mRNA.  Hal ini memungkinkan protein yang sedang disintesa dapat menembus membran endoplasmik retikulum.  Peranan membran dalam menopang berbagai protein yang sebagian adalah enzim akan dibicarakan dalam oksidasi fosforilasi.
  3. Menseleksi jenis dan jumlah molekul yang keluar dan masuk dari dan ke dalam sel.  Sebagaian molekul dapat masuk secara bebas ke dalam sel.  Namun demikian sebagian besar molekul harus melalui mekanisme tertentu.  Hal ini disebabkan molekul yang akan menyeberang tersebut terlalu besar atau terlalu polar untuk menembus membran yang nonpolar.

Ion dapat ditransfer melewati membran dengan menggunakan molekul pembawa seperti ionofore yang merupakan molekul organik yang pada umumnya adalah antibiotik dari bakteri.  Valinomisin dan gramisidin A adalah antibiotik yang dapat mentransfer ion K+.  Valinomisin menghantar ion dengan bergerak dari satu permukaan ke permukaan lainnya, sedangkan gramisidin membentuk struktur seperti tabung yang menghubungkan kedua permukaan.
Porin adalah protein yang berbentuk seperti tabung dengan dinding yang terbentuk dari rantai polipeptida dengan motif β-sheet.  Bagian dalam struktur ini bersifat polar sedangkan bagian luar bersifat nonpolar.  Bagian luar yang nonpolar akan memperkuat interaksinya dengan membran, sedangkan bagian dalam yang polar menyebabkan porin dapat memfasilitasi masuk keluarnya molekul polar.  Diameter bagian dalam struktur yang terbatas (10 A) menyebabkan molekul yang lebih besar tidak dapat masuk.
Transport glukosa dilakukan oleh transporter protein.  Protein ini mempunyai konformasi yang khusus yang memungkinkan glukosa berinteraksi dengan protein tersebut (Gambar 2).  Selanjutnya molekul glukosa tersebut akan terlepas kedalam sel.  Transport ini dapat terjadi ke dua arah (keluar dan kedalam).
Berbagai senyawa harus ditransport dari bagian yang konsentrasi rendah ke bagian yang berkonsentrasi tinggi.  Hal ini dilakukan dengan menggunakan tenaga dimana sumber tenaganya kebanyakan berasal dari ATP.
Enzim ATPase yang memompa ion Na+ dan K+ pada membran plasma merupakan contoh dari sistim pemindahan oleh protein/enzim yang mengunakan ATP.  Protein ini terdiri dari dua pasang protein molekul (sub unit).  Sub unit tidak mengandung karbohidrat (α) yang mempunyai aktivitas enzim dan kemampuan mengikat ion.  Sub unit kedua mempunyai gugus karbohidrat.  Kompleks protein (Gambar xx) ini dinamakan juga sebagai pompa Na+-K+.  Kompleks protein yang memompakan Ca dengan mekanisme yang sama terdapat pada membran plasma.  Demikian juga dengan pompa H+ dan K+ pada membran sel sel mukosa mempunyai mekanisme yang sama.
Gambar 2.  Mekanisme transfer glukose melalu membran

Perbedaan gradien elektrokimia yang disebabkan oleh pompa ion diatas menyebabkan aliran yang dapat menarik molekul yang lain.  Misalnya, glukosa diluar sel epitelium akan ikut memasuki sel (Gambar 2) oleh karena pompa Na-K pada bagian lain sel tersebut.  Selanjutnya glukosa dipindahkan ke sel berikutnya melalui glukosa uniport.
Enzim laktosa permease memindahkan laktosa dengan menggunakan gradien proton.  Proton dan laktosa akan berasosiasi dengan enzim laktosa permease membentuk kompleks.  Selanjutnya pelepasan proton pada bagian lain membran akan merubah konformasi enzim yang akan melepaskan juga laktosa.  Proton akan dikembalikan pada sisi sebelumnya melalui metabolisme oksidasi.


FUNGSI BIOLOGI DARI PROTEIN
Keragaman protein lebih diperbanyak dengan adanya biomolekul lainya yang bukan protein seperti lipid, karbohidrat maupun asam nukleat yang secara kmia terikat dengan protein membentuk suatu molekul.  Fungsi kompleks protein ini akan dibicarakan lebih lanjut ketika berdiskusi tentang masing masing kompleks protein tersebut.
Sangat beragamnya fungsi protein didalam sel menyebabkan kesukaran dalam pengelompokan mereka secara lebih tepat untuk masing masing jenis protein.  Beberapa protein mempunyai fungsi yang sangat khsusu sehingga sukar dikelompokkan kedalam fungsi tertentu.  Demikian juga banyak protein belum dapat diidentifikasi karena kesulitan dalam isolasinya maupun studi tentang peranannya.  Namun demikian secara umum protein dapat dikelompokan menurut fungsinya sebagai berikut:
1.      enzim,
2.      pengangkut dan penyimpan oksigen,
3.      pertahanan tubuh (imun sistim),
4.      penggerak sel dan jaringan,
5.      pengangkut hasil metablisme dalam sel,
6.      pengenalan senyawa pada  membran sel,
7.      penyusun struktur sel,
8.      dan pengatur metabolisme.
Fungsi protein sebagai enzim akan dibicarakan pada bagian tentang enzim.  Demikian juga dengan fungsi protein dalam pengenalan senyawa pada membran sel akan dibicarakan dalam membran sel.


Mioglobin dan hemoglobin
Mioglobin merupakan protein yang berfungsi sebagai pengangkut oksigen pada mahluk hidup yang kompleks.  Oksigen ditransportasikan dari satu jaringan ke jaringan lainnya dimana oksigen digunakan dalam sel di jarngan tersebut untuk oksidasi yang menghasilkan energi gerak.  Pada mahluk hidup yang hidup dalam air, mioglobin nerfungsi untuk menyimpan oksigen.
Mioglobin terdiri dari 153 asam amino dan membentuk a-heliks pada delapan tempat.  Struktur seperti ini mendorong terbentuknya protein globular yang berdimensi 44 X 44 X 25 Å (Gambar 3).
Gambar 3.  Struktur molekul mioglobin

Mioglobin mempunyai gugus heme yang terbentuk dari empat gugus pirol yang terikat satu sama lainnya dengan jembatan metene membentuk porfirin dan atom besi (Fe II) yang terkoordinasi dengan empat atom N dari masing masing gugus pirol dalam porfirin tersebut dan satu atom N dari gugus histidin dari protein.  Molekul oksigen (O2) akan terikat pada atom besi.  Selanjutnya atom oksigen yang lainnya akan berkoordinasi dengan gugus histidin lainnya dari protein (Gambar 4).
Pada saat Fe (II) berhubungan dengan O2, molekul mioglobin dikatakan telah berada dalam bentuk teroksidasi.  dengan demikian Fe (II) menjadi Fe (III).  Bila bukan O2 yang terikat pada gugus heme ini, melainkan gugus lain seperti CO, NO atau H2S yang lebih kuat afinitasnya, maka mioglobin tersebut tidak dapat lagi mengikat O2.  Dalam hal ini, senyawa CO, NO dan H2S dikatakan sebagai racun bagi mioglobin.

Gambar 4.  Kompleks heme dengan myoglobin dan pengikatan oksigen

Berdasarkan pada kemampuan mioglobin mengikat molekul oksigen tersebut maka mioglobin mempunyai fungsi untuk menyimpan dan menyalurkan oksigen ke jaringan sel dalam otot.  Bila oksigen sendiri sukar berdifusi dalam jaringan otot, maka mioglobin mampu berdifusi dengan baik.  dengan demikian oksigen dapat disampaikan ke dalam jaringan otot dengan lancar.
Hemoglobin merupakan molekul protein lainnya yang mempunyai tugas untuk mengikat oksigen dan membawanya dari jaringan yang satu ke jaringannya yang membutuhkan oksigen.  Hemoglobin terdapat di dalam sel darah merah yang dapat diangkut keberbagian lain dari sistim yang kompleks seperti tubuh manusia.
Molekul hemoglobin terbentuk dari empat rantai polipeptida (tetramer; a2b2).  Struktur molekul dari hemoglobin a adalah sama satu sama lainnya.  Demikian juga kedua molekul hemoglobin b.  Struktur molekul dari hemoglobin a dan b sedikit berlainan satu sama lainnya.      Secara keseluruhan, ukuran molekul hemoglobin adalah 64 X 55 X 50 Å.
Hemoglobin akan mengikat oksigen melalui gugus heme seperti pada mioglobin.  Bentuk molekul (conformasi) hemoglobin akan berubah dengan masuknya molekul oksigen.  Kemampuan hemoglobin mengikat oksigen berbeda dengan mioglobin.  Bila intekaksi oksigen dengan mioglobin mengikuti kurva hiperbola maka hemoglobin mengikuti kurva sigmoidal.  Hal ini menyebabkan hemoglobin mampu melepaskan oksigen pada konsentrasi oksigen disekitarnya sedikit rendah.

Aktin dan miosin
Aktin dan miosin merupakan protein yang menjadi bagian utama dari jaringan otot manusia maupun hewan lainnya.  Kedua molekul ini terdapat dalam sel sel miofibrin yang merupakan sel sel memanjang.  Secara mikroskopis posisi molekul molekul ini terlihat sebagai lapisan tebal dan tipis (Gambar 5).  Lapisan tebal merupakan protein miosin yang terdiri dari enam rantai polipeptida yaitu dua rantai berat (220 kD) dan dua pasang rantai esensial dan rantai regulatori yang bervariasi dalam ukurannya antara 15 dan 20 kD tergantung asal jaringannya.  Kedua polipeptida rantai berat membentuk spiral rangkap dua dengan salah satu ujung (amina) yang membesar.  Kedua molekul kecil lainnya berasosiasi dekat kelapa rantai berat tersebut (Gambar 6).  Kepala myosin ini merupakan emzim ATPase.
Lapisan tipis tersusun dari tiga protein yaitu aktin, tropomiosin dan troponin.  Aktin merupakan protein yang berbentuk globular yang tersusun dari 375 asam amino.  Tropomiosin merupakan rantai heliks rangkap dua yang memanjang dan berasosiasi dengan molekul troposiosin lainnya membentuk rantai yang panjang.  Pada rantai inilah molekul aktin berinteraksi membentuk rangkaian sepanjang molekul tropomiosin.  Selanjutnya satu molekul troponin yang mengikat ion Ca terikat pada satu untaian tropimiosin.
 Gambar 5.  Penampakan lapisan tebal dan laipsan tipis pada otot
 Gambar 6.  Struktur molekul miosin yang mengandung

Setiap aktin dapat mengikat bagian kepala dari molekul miosin melalui inteaksi ion dan hidrofobik.  Ikatan atau interaksi inilah yang mengatur kontraksi otot.  Interaksi antara aktin dan miosin ini akan berada dalam keadaan terikat atau tidak secara berganti ganti.  Mekanismenya adalah sebagai berikut (Gambar 7):
  1. Molekul ATP akan mengikat kepala miosin sehingga domain kepala tersebut akan terlepas dari ikatan dengan aktin.
  2. Adanya ATP pada miosin akan menyebabkan miosin tersebut tidak dapat berinteraksi dengan aktin.  Langkah berikut adalah terjadinya hidrolisa dari satu gugus fosfat.  Hal ini menyebabkan kepala miosin bergeser sedikit.
  3. Hidrolisis ini menyebabkan terjadinya interaksi kembali dengan aktin.  Namun demikian interaksi ini sedikit lemah.
  4. Langkah berikut adalah terjadinya pelepasan gugus fosfat yang terhidrolasi diatas.  Pelepasan gugus fosfat ini menyebabkan perubahan konformasi struktur miosin yang diikuti oleh semakin kuatnya interaksi dengan aktin.
 Gambar 6.  Mekanisme kerja konstraksi otot.

  1. Perubahan konformasi menyebabkan gerakan secara tiba tiba dari molekul miosin dan aktin.  Bila hal ini terjadi serentak disemua sel dalam jaringan maka akan terjadi gerakan otot.
  2. Langkah berikutnya adalah  pelepasan molekul ADP yang diikuti oleh  bergesernya molekul miosin pada posisi dimana miosin ini akan berinteraksi secara kuat dengan aktin.


Imunoglobulin
Sistim ketahanan pada mahluk hidup yang kompleks seperti manusia dapat dibedakan atas ketahanan sel dan ketahanan humoral (cairan).  Ketahanan sel terhadap infeksi virus, fungi, bakteri atau patogen lainnya dilakukan dengan membentuk sel penangkal seperti sel T limposit.  Ketahanan humoral dilakukan dengan pembentukan protein tertentu yaitu immunoglobulin atau antibodi.  Antibodi ini disintesa dalam sel B-limposit atau sel B.
Pembentukan protein antibodi seperti imunoglobulin dirangsang oleh adanya molekul asing yang dinamakan antigen.  Molekul asing ini sering berupa mokromolekul seperti protein dan karbohidrat.  Ketika sel B bertemu dengan antigen, imunoglobulin pada permukaan sel akan membungkus antigen tersebut kemudian menghancurkannya.
Struktur molekul imunoglobulin secara umum terdiri dari dua pasang rantai polipeptida ringan (L) dan dua pasang polipeptida berat (H).  Keempat sub unit ini tersusun membentuk seperti huruf Y seperti terlihat dalam gambar XX.  Keempat sub unit ini dihubungkan satu sama lain oleh ikatan disulfida dan interaksi nonkovalent.  Kedua sub unit rantai ringan menempati bagian “tangan”dari immunoglobulin yang berfungsi sebagai bagian yang berinteraksi dengan antigen.  Bagian tangan ini dapat dibedakan lebih lanjut atas bagian variabel dan bagian konstan.  Bagian variabel sangat bervariasi susunan asam amino untuk setiap jenis antibodi.
Setiap domain pada tangan antibodi terbentuk dari tiga dan empat anti paralel β-sheet yang diikat oleh ikatan disulfida.  Kemampuan untuk mengenal berbagai jenis antigen terletak pada jenis asam amino yang menempati tiga bengkokan pada rantai polipeptida dari domain diujung amina.  Urut-urutan asam amino pada ketiga bengkokan polipeptida ini dinamakan hipervariabel.  Interaksi antara asam asam amino ini dengan bagian molekul antigen yang menentukan pengenalan antigen oleh antibodi.  Interaksi ini merupakan perpaduan dari interaksi vander Walls, hidrofobik, ikatan hidrogen dan ikatan ionik.

 to be continued... (capek)




























.

Rabu, 04 Juli 2012

Analisis Kandungan Protein Dalam Nira Aren


Oleh : INDRIANI GUNAWAN, Jurusan Kimia FMIPA Unsrat Manado 2011
Nira adalah cairan yang keluar dari bunga kelapa atau pohon penghasil nira lain seperti aren, siwalan dan lontar yang disadap. Cairan ini merupakan bahan baku untuk pembuatan gula. Tahapan penelitian ini meliputi penentuan kandungan Gula (Brix Awal), penentuan konsentrasi protein, pembuatan Reagen Bradford, pembuatan Standar BSA (Bovine Serum Albumin) dan penentuan konsentrasi protein Nira Aren. Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa kandungan protein nira aren bervariasi dari berbagai lokasi. Untuk Taratara 1 dengan nilai kandungan protein sebesar 22,2 (µg/mL). Taratara 2 dengan nilai kandungan protein sebesar 47,6 (µg/mL). Taratara 3 dengan nilai kandungan protein sebesar 47,5 (µg/mL). Lahendong 1 dengan nilai kandungan protein sebesar 43,7 (µg/mL). Lahendong 2 dengan nilai kandungan protein sebesar 39,1 (µg/mL). Matani dengan nilai kandungan protein sebesar 4,3 (µg/mL). Kandungan protein yang tertinggi terdapat pada pohon di lokasi Taratara 2 dengan nilai 47,6 (µg/mL). Tidak terdapat Korelasi antara kandungan gula (Brix) dan kandungan protein. Nilai koefisien Korelasi R2 = 0,009.
selengkapnya dapat didownload di sini

Aktivitas Enzim Bromelin dari Ekstrak Batang Buah Nanas (Ananas comosus (L) Merr)


Oleh : NINGSIH LAYUK, Jurusan Kimia FMIPA Unsrat Manado, 2011
Tanaman nanas sangat diminati oleh masyarakat karena memiliki banyak manfaat dan proses pemeliharaannya yang tidak rumit. Pemanfaatan tanaman nanas hanya terbatas pada buahnya saja, sedangkan mahkota, kulit, bonggol, daun, dan batangnya hanya dijadikan limbah. Tanaman nanas mengandung enzim bromelin, yaitu suatu enzim proteolitik yang dapat mengkatalisis reaksi hidrolisis protein dan memiliki banyak manfaat diantaranya mencerna protein dalam makanan sehingga mudah diserap oleh tubuh, membantu penyembuhan luka, mempercepat pembuangan lemak melalui ginjal dan mengimbangi kadar keasaman dalam darah.
Telah dilakukan penelitian dengan tujuan (1) untuk menentukan kadar protein enzim bromelin dari ekstrak batang nanas; (2) untuk  menentukan aktivitas enzim bromelin dari ekstrak batang nanas. Penelitian dilakukan dengan membuat ekstrak kasar enzim bromelin kemudian diendapkan dengan amonium sulfat pada konsentrasi 10, 20, 30, 40, 50 dan 60 %. Nilai kadar enzim bromelin dari ekstrak batang nanas tertinggi kemudian digunakan untuk menghitung aktivitas enzim bromelin. Aktivitas optimum enzim bromelin dapat dilihat pada variasi temperatur 50, 55, 60, 65, 70, 75 dan 80 oC serta variasi pH 5,0; 5,5; 6,0; 6,5; 7,0; 7,5 dan 8,0 yang digunakan.
Hasil penelitian menunjukkan nilai kadar enzim bromelin dari ekstrak batang nanas tertinggi yang diperoleh adalah pada penambahan amonium sulfat 60 % dengan nilai sebesar 5,85 %. Pada temperatur 65 oC, aktivitas enzim bromelin optimum dari ekstrak batang nanas yang diperoleh sebesar 0,093 U/menit. Pada pH (6,5), aktivitas enzim bromelin optimum  dari ekstrak batang nanas yang diperoleh sebesar 0,093 U/menit.
Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa nilai kadar enzim bromelin dari ekstrak batang nanas tertinggi yang diperoleh adalah pada penambahan amonium sulfat 60 %. Temperatur optimum enzim bromelin adalah 65 oC dan pH optimum enzim bromelin adalah 6,5.
selengkapnya dapat didownload di sini

Uji Fitokimia dan Aktivitas Antioksidan dari Ekstrak Kangkung Air (Ipomoea Aquatica Forsk)


Oleh : SUTRIANI, Jurusan Kimia FMIPA Unsrat Manado 2011

Telah dilakukan penelitian untuk menguji kandungan fitokimia dan aktivitas antioksidan daun dan batang kangkung air dengan analisa yang digunakan yaitu uji fitokimia, uji total fenol dan uji aktivitas antioksidan. Uji total fenol menggunakan metode Follin-Ciocalteau dengan menggunakan asam galat sebagai larutan standar. Uji aktivitas antioksidan dengan menggunakan metode 1,1 diphenyl-2-picrylhidrazil dengan menggunakan variasi konsentrasi 50 ppm, 100 ppm, 150 ppm, 200 ppm, dan 500 ppm. Hasil analisa uji fitokimia menunjukkan sampel positif mengandung flavonoid dan tanin. Hasil analisa dari metode Follin-Ciocalteau menunjukkan kandungan total fenol tertinggi berada pada esktrak daun yaitu sebesar 67,35 sedangkan esktrak batang sebesar 5,10. Hasil analisa dari metode 1,1 diphenyl-2-picrylhidrazil (DPPH) menunjukkan kedua ekstrak memiliki aktivitas antioksidan, dengan kandungan antioksidan terbesar pada ekstrak daun.

Kekuatan aktivitas antioksidan ekstrak diukur dengan menggunakan IC 50. Dari hasil perhitungan nilai IC 50 ekstrak daun sebesar 243,5 mg/L dan ekstrak batang sebesar 441,4 mg/L. Kedua esktrak tersebut dikatakan memiliki aktivitas antioksidan yang sangat rendah karena memiliki nilai IC 50 lebih besar dari 200 mg/L.

selengkapnya dapat didownload di sini

ANALISIS KOMPONEN TIDAK TERSABUNKAN DARI MINYAK KELAPA YANG DIBUAT DENGAN CARA PEMANASAN


Oleh : ETI FATMAWATI BIDURI, Jurusan Kimia FMIPA Unsrat Manado 2011

Minyak kelapa merupakan bagian yang paling berharga dari buah kelapa, yang dapat diperoleh baik dengan cara mengekstraksi daging buah kelapa segar (cara basah) atau daging buah kelapa yang telah dikeringkan (cara kering). Kebanyakan industri rumah tangga (home industry) menggunakan ekstraksi cara basah dengan teknik pemanasan santan. Pada minyak kelapa, aktivitas antioksidan tidak berkaitan langsung dengan kandungan asam-asam lemaknya tetapi banyak berkaitan dengan keberadaan vitamin E dan bahan-bahan yang tidak tersabunkan yang larut dalam asam-asam lemak dalam minyak.

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis komponen tidak tersabunkan dari minyak kelapa yang dibuat  sendiri dan minyak kelapa komersial.  Ekstrak minyak kelapa diperoleh dari 2 metode ekstraksi yaitu metode saponifikasi dingin dan metode ekstraksi langsung. Untuk analisis kuantitatif digunakan larutan standar  α-tokoferol, sedangkan untuk analisis kulitatif dilakukan dengan mencocokan waktu retensi dari masing-masing puncak pada kromatogram sampel dengan waktu retensi senyawa α-tokoferol standar, untuk mengetahui kandungan α-tokoferol dari masing-masing sampel minyak kelapa. Hasil penelitian menunjukkan kandungan α-tokoferol minyak kelapa komersial lebih baik daripada minyak kelapa yang dibuat sendiri. Untuk metode saponifikasi dingin dan ekstraksi langsung dengan pelarut etanol efektif digunakan untuk mengekstraksi komponen-komponen tidak tersabunkan. 
selengkapnya dapat didownload di sini

Senin, 02 Juli 2012

Apakah vitamin C efektif mengobati flu?



Saya orangnya mudah terkena flu, tapi sejak membaca artikel ini akhirnya tidak sering kena flu lagi...

diambil dari chem-is-try.org

Terkadang saya dengar bahwa sangat baik untuk mengkonsumsi vitamin C bila sedang terserang flu. Apakah vitamin C benar-benar efektif untuk mengobati flu?
Jawaban:
Dr. Kenji Iijima, yang sedang mempelajari efek fisiologis vitamin C, bersedia menjawab pertanyaan ini.
Dr. Iijima memberi catatan “Saya tidak menjanjikan bahwa semua informasi dalam artikel saya adalah benar karena immunologi bukanlah bidang saya”

Fungsi Fisiologis vitamin C terkait dengan kekebalan (imunitas)

Pertama-tama, vitamin C terkonsentrasi terutama dalam sel darah putih tubuh kita. Diduga bahwa vitamin C memainkan peranan penting dalam kekbalan tubuh, tapi mekanisme masih dalam penelitian.
Berikut adalah fungsi fisiologis vitamin C terkait dengan imunitas:
  1. Vitamin C membantu pembentukan protein yang disebut kolagen, yang dapat membawa sel-sel berkumpul bersama seperti lem. Hal ini terkait dengan memperkuat kulit dan membran mukosa, yang berperan dalam mencegah virus dan bakteri masuk ke dalam tubuh kita. Vitamin A juga memberikan fungsi yang sama, tapi mekanisme berbeda dengan vitamin C.
  2. Mengurangi stress juga terkait erat dengan vitamin C. Meski mekanismenya belum diketahui dengan jelas, namun vitamin C memang memiliki efek mengurangi stress. Hal ini meningkatkan daya tahan tubuh.
  3. Vitamin C adalah vitamin antioksidan yang mudah larut dalam air. Hal ini berarti mengurangi kelebihan radikal bebas dan oksigen aktif dalam tubuh kita. Vitamin E, yang larut dalam lemak, juga memberikan fungsi yang sama. Sebagai tambahan, ketika vitamin E kehilangan sifat antioksidannya bila teroksidasi, maka vitamin C mengurangi vitamin E yang teroksidasi sehingga bisa kembali menjadi vitamin E. Hal ini dianggap baik untuk kesehatan kita untuk mengkonsumsi kedua vitamin C dan E.
    Diduga bahwa radikal bebas dan oksigen aktif adalah faktor utama yang menyebabkan inflamasi seperti dermatitis atopik. Banyak peneliti yang tertarik mempelajari hubungan antara alergi dan antioksidan seperti vitamin C. Ketika virus, seperti virus influenza, masuk ke dalam tubuh kita, sejumlah besar oksigen aktif dihasilkan dalam sel darah putih, yang mengoksidasi virus, dan menghancurkannya. Dilaporkan bahwa konsumsi vitamin C secara masif adalah untuk menghilangkan kelebihan oksigen aktif ini. Karenanya, bisa kita katakan bahwa vitamin C turut melindungi jaringan ormal dari kelebihan radikal bebas dan oksigen aktif.
  4. Telah diamati bahwa faktor-faktor yang terkait dengan imunitas meningkat ketika vitamin C dikonsumsi secara terus menerus dalam jumlah 10 kali lebih banyak dari kebutuhan gizi kita. Hal ini khususnya pada orang lansia.
Apakah vitamin C efektif untuk influenza?
Kita sering mendengar bahwa sangat baik untuk mengkonsumsi vitamin C untuk perlindungan tubuh kita di awal musim hujan. Diduga, vitamin C memiliki pengaruh tertentu terhadap influenza, dan lebih baik lagi bila vitamin C dikonsumsi dengan pertimbangan sebagai keseimbangan gizi. Efek vitamin C mungkin akan lebih baik bila dikonsumsi bersama dengan vitamin lainnya daripada dikonsumsi tunggal, seperti telah disebutkan di atas.
Saya mengenali vitamin C dibutuhkan untuk menjaga kesehatan daripada untuk menyembuhkan penyakit tertentu. Vitamin C juga terlibat dalam detoksifikasi senyawa organik, seperti obat-obatan, polusi lingkungan, dan bahan tambahan makanan. Dalam kehidupan modern, kita terpapar dengan stres dan polusi lingkungan yang mempengaruhi kesehatan kita. Inilah alasan mengapa kebutuhan gizi yang direkomendasikan untuk vitamin C yang diizinkan untuk orang dewasa dinaikkan dari 50 mg menjadi 100 mg. Saya kira sangat penting untuk membiasakan mengkonsumsi vitamin C.

ANALISIS KOMPONEN TIDAK TERSABUNKAN DALAM VIRGIN COCONUT OIL (VCO) YANG DIBUAT DENGAN METODE MIXING



SKRIPSI
 Oleh: FITRIYANA ANWAR

JURUSAN KIMIA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS SAM RATULANGI MANADO 2011


I. PENDAHULUAN
1.1.   Latar Belakang
Kelapa (Cocos nucifera L.) sangat populer di masyarakat karena memiliki banyak manfaat bagi kehidupan manusia. Kelapa sering juga disebut sebagai pohon kehidupan (tree of life) karena semua bagian tanaman ini dapat digunakan untuk kehidupan. Bagian terpenting dari kelapa adalah buahnya karena bagian tersebut dapat diolah menjadi berbagai produk seperti kopra, dessicated coconut, santan kelapa dan minyak kelapa (Syah, 2005a).
Virgin Coconut Oil (VCO) adalah minyak kelapa murni yang dihasilkan dari daging buah kelapa tua yang masih segar. Beberapa metode yang banyak digunakan dalam pembuatan VCO adalah pemanasan (95 oC), fermentasi dan pancingan (Sutarmi dan Rozaline, 2006). Selain metode tersebut, juga ada metode pengadukan (mixing). Pada metode mixing,  dengan adanya pengadukan terus-menerus, maka molekul protein yang berfungsi sebagai emulsifier dapat rusak sehingga minyak dapat terpisah (Cahyana dalam Koapaha, 2006).
VCO menjadi populer karena manfaatnya untuk kesehatan. Pada bidang farmasi, VCO digunakan untuk obat-obatan dan kosmetik (Sutarmi dan Rozaline, 2006). Beberapa manfaat VCO antara lain dapat mengurangi kandungan total kolesterol, trigliserida, fosfolipid, LDL (Low Density Lipoprotein) dan VLDL (Very Low Density Lipoprotein), kandungan polifenol dalam VCO juga dapat mencegah oksidasi LDL (Nevin dan Rajamohan, 2004). Pada studi sebelumnya, telah dilakukan uji aktivitas antioksidan dan antifotooksidasi dari VCO dengan cara mengestrak VCO menggunakan pelarut etanol (Muis, 2007). Disamping itu juga telah dilakukan penelitian mengenai potensi VCO sebagai penangkap radikal bebas dan penstabil oksigen singlet. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa VCO memiliki aktivitas penangkap radikal bebas dan memiliki potensi sebagai penstabil oksigen singlet (Wehantouw, 2007).
Aktivitas antioksidan dari VCO tidak berkaitan secara langsung dengan kandungan asam-asam lemaknya, tetapi lebih banyak berkaitan dengan keberadaan vitamin E dan bahan-bahan yang tidak tersabunkan (unsaponifiable) yang larut dalam asam-asam lemak tersebut (Subroto, 2006).
VCO mengandung komponen tidak tersabunkan seperti vitamin E dan polifenol yang berfungsi sebagai antioksidan dan mencegah peroksidasi lipid. (Nevin dan Rajamohan, 2006). Berdasarkan kajian tersebut, maka perlu dilakukan penelitian mengenai komponen tidak tersabunkan yang terkandung dalam VCO yang dibuat dengan metode mixing. Analisis komponen tidak tersabunkan yang terkandung dalam VCO yang dibuat dengan metode pengadukan (mixing) dilakukan dengan dua metode yaitu ekstraksi secara langsung menggunakan pelarut etanol 80% dan ekstraksi dengan metode saponifikasi dingin.
1.2.   Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang dikemukakan maka yang menjadi permasalahan adalah:
1. Bagaimana kadar komponen tidak tersabunkan yang terkandung dalam VCO yang di buat dengan metode mixing dan VCO komersial.
2. Bagaimana perbandingan kadar komponen tidak tersabunkan yang diekstraksi secara langsung menggunakan pelarut etanol 80% dan ekstraksi dengan metode saponifikasi dingin.
1.3.    Tujuan Penelitian
Tujuan yang akan dicapai dalam penelitian ini adalah:
1. Menganalisis komponen tidak tersabunkan yang terkandung dalam VCO yang dibuat dengan metode mixing dan VCO komersial menggunakan High Performance Liquid Chromatography (HPLC).
2. Membandingkan metode ekstraksi komponen tidak tersabunkan yaitu metode     ekstraksi secara langsung menggunakan pelarut etanol 80% dan ekstraksi dengan metode saponifikasi dingin.
1.4. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi ilmiah mengenai komponen tidak tersabunkan dalam Virgin Coconut Oil (VCO) yang memiliki banyak manfaat bagi kesehatan.

II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Buah Kelapa
Kelapa (Cocos nucifera L.) adalah tanaman dari famili palmae yang sangat lazim ditemukan di daerah tropis. Kelapa sangat populer di masyarakat karena memiliki banyak manfaat bagi kehidupan manusia. Beragam manfaat dapat diperoleh dari daging buah, air, sabut, tempurung, daun dan batangnya. Bagian terpenting dari kelapa adalah buahnya karena bagian tersebut dapat diolah menjadi berbagai produk seperti kopra, dessicated coconut, santan kelapa dan minyak kelapa (Syah, 2005a).
Buah kelapa terdiri dari sabut (eksokrap  dan  mesokrap), tempurung (endokrap), daging buah (endosperm), dan air buah. Tebal sabut kelapa kurang lebih 5 cm dan tebal daging buahnya 1 cm atau lebih (Syah, 2005a). Komposisi buah kelapa disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Komposisi Buah Kelapa
Buah Tua
Jumla Berat (%)
Sabut
35
Tempurung
12
Daging Buah
28
Air Buah
25
(Sumber: Syah, 2005a)
Buah kelapa terdiri atas 28% daging buah dan 25% air buah. Daging buah kelapa segar kaya akan lemak dan karbohidrat serta protein dalam jumlah cukup. Lemak pada daging buah kelapa merupakan komponen kedua terbesar setelah air. Kadar lemak pada daging buah kelapa meningkat dengan semakin bertambahnya umur buah dan mencapai maksimal pada umur 12 bulan (Syah, 2005a).
2.2. Lemak dan Minyak
Lemak dan minyak merupakan salah satu kelompok yang termasuk golongan lipida. Satu sifat yang khas dan mencirikan golongan lipida adalah mudah larut dalam pelarut organik seperti eter, benzena, kloroform dan tidak larut dalam air. Lemak dan minyak secara kimia adalah trigliserida yang merupakan bagian terbesar dari kelompok lipida (Wardani, 2007).
Lemak dan minyak terdiri dari trigliserida campuran yang merupakan ester dari gliserol dan asam lemak (Ketaren, 1986). Gliserida dalam minyak dan lemak bukan merupakan gliserida sederhana, tetapi merupakan gliserida campuran yaitu molekul gliserol berikatan dengan asam lemak yang berbeda (Fessenden dan Fessenden, 1982). Terdapat dua jenis komponen minor yang larut dalam trigliserida yaitu gliserolipid dan nongliserolipid. Komponen minor yang terdapat dalam minyak nabati disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Komponen Minor dalam Minyak Nabati
Gliserolipid
Non-Gliserolipid
Diasilgliserol
Monoasilgliserol
Fosfolipid
Galaktolipid
Sulfolipid
Sterol
Tokoferol/tokotrienol
Hidrokarbon
Lilin
Asam lemak bebas
Vitamin yang larut dalam lemak
Pigmen
Senyawa fenolik
(Sumber: Kamal dan Aldin, 2005)
Trigliserida dapat berwujud padat atau cair, hal ini tergantung dari komposisi asam lemak yang menyusunnya. Lemak berbentuk padat pada suhu kamar karena banyak mengandung asam lemak jenuh, sedangkan minyak berbentuk cair karena mengandung sejumlah asam lemak tidak jenuh (Ketaren 1986). Dibandingkan dengan minyak nabati lainnya, minyak kelapa memiliki kandungan asam lemak jenuh yang paling tinggi (Sukartin dan Sitanggang, 2005).  
2.3 Minyak Kelapa
Minyak kelapa berdasarkan kandungan asam lemak digolongkan ke dalam minyak asam laurat, karena kandungan asam lauratnya paling besar jika dibandingkan dengan asam lemak lainnya (Ketaren, 1986). Minyak kelapa mengandung lebih kurang 90% asam lemak jenuh yang terdiri atas asam laurat, miristat dan palmitat. Komposisi asam lemak minyak kelapa disajikan pada Tabel 3.
 Tabel 3. Kandungan Asam Lemak dalam Minyak Kelapa
Asam Lemak
Rumus Kimia
Jumlah (%)
Asam Lemak Jenuh :
Asam Kaproat
Asam Kaprilat
Asam Kaprat
Asam Laurat
Asam Miristat
Asam palmitat
Asam stearat
Asam arachidat

C5H11COOH
C7H17COOH
C9H19COOH
C11H23COOH
C13H27COOH
C15H31COOH
C17H35COOH
C19H39COOH

0.0-0.8
5.5-9.5
4.5-9.5
44.0-52.0
13.0-19.0
7.5-10.5
1.0-3.0
0.0-0.4
Asam Lemak Tidak jenuh
Asam palmitoleat
Asam oleat
Asam linoleat

C15H29COOH
C17H33COOH
C17H31COOH

0.0-1.3
5.0-8.0
1.5-2.5
 (Sumber: Thieme dalam Ketaren, 1986)
Minyak kelapa yang belum dimurnikan mengandung sejumlah kecil fosfatida, sterol, asam lemak bebas dan tokoferol (berfungsi sebagai antioksidan). Tokoferol yang mempunyai keaktifan vitamin E terdapat dalam bentuk α, β, γ dan δ tokoferol. Sterol yang terdapat dalam minyak disebut fitosterol (Ketaren, 1986).
Minyak kelapa telah digunakan sebagai minyak makan selama ribuan tahun dan sampai sekarang masih digunakan oleh masyarakat. Minyak kelapa dapat dimanfaatkan untuk keperluan pangan, seperti minyak goreng, bahan margarin dan mentega putih (Syah, 2005b).
Minyak kelapa terdiri dari tiga jenis, yaitu minyak kelapa keluaran pabrik yang dalam proses pembuatannya menggunakan bahan kimia untuk pemurnian, pemutih, dan menghilangkan bau tidak sedap; minyak kelapa tradisional yang biasa dibuat dari kelapa segar dengan bantuan pemanasan (lebih dikenal masyarakat dengan sebutan minyak klentik) dan minyak kelapa murni (VCO) yang diekstrak tanpa atau dengan pemanasan minimal (Naiola, 2005).
2.4. Virgin Coconut Oil (VCO)
Virgin Coconut Oil (VCO) adalah minyak kelapa murni yang diperoleh  dari daging buah kelapa tua yang masih segar. Proses pengolahan VCO tidak menggunakan pemanasan tinggi (<95 oC) dan diproses dengan cara sederhana sehingga diperoleh Virgin Coconut Oil (VCO) yang berkualitas. Keunggulan dari minyak ini adalah jernih, tidak berwarna dan tidak mudah tengik (Syah, 2005b).

2.4.1. Pembuatan Virgin Coconut Oil (VCO) dengan Metode Mixing
Kandungan kimia yang paling utama dalam sebutir kelapa yaitu air, protein dan lemak. Ketiga senyawa tersebut membentuk emulsi dengan protein sebagai emulgatornya. Emulsi adalah cairan yang terbentuk dari campuran dua zat, dimana zat yang satu terdispersi dalam zat yang lain (Winarno, 1992). Dari sistem emulsi tersebut, protein akan membungkus butir-butir minyak kelapa dengan satu lapisan tipis sehingga butir-butir minyak tidak akan bergabung.
Beberapa metode yang banyak digunakan dalam pembuatan VCO adalah pemanasan (95 oC), fermentasi dan pancingan (Sutarmi dan Rozaline, 2006). Selain metode tersebut, juga ada metode pengadukan (mixing). Putaran kepala mixer menyebabkan emulsi santan terpecah. Pada prinsipnya santan adalah campuran antara molekul minyak, molekul air dan protein. Pada metode mixing,  dengan adanya pengadukan terus-menerus, maka molekul protein yang berfungsi sebagai emulsifier dapat rusak sehingga minyak dapat terpisah (Cahyana dalam Koapaha, 2006). 
Pada tahap awal pembuatan VCO yaitu daging buah kelapa diparut atau digiling kemudian diperas untuk diambil santannya. Selanjutnya santan didiamkan hingga terbentuk krim dan skim. Krim inilah yang kemudian diolah dengan berbagai metode menjadi VCO.
Santan merupakan suatu emulsi minyak dalam air. Protein (berupa lipoprotein) yang terdapat di dalam santan berfungsi sebagai pengemulsi. Salah satu penyebab hilangnya stabilitas protein adalah adanya pengadukan. Lapisan molekul protein bagian dalam yang bersifat hidrofob berbalik ke luar, sedangkan bagian luar yang bersifat hidrofil terlipat ke dalam. Hal ini menyebabkan protein mengalami koagulasi dan akhirnya akan mengalami pengendapan, sehingga lapisan minyak dan air dapat terpisah (Winarno dalam Wardani, 2007).
Kualitas VCO dapat diukur berdasarkan standar APCC (Asian and Pacific Coconut Community). Standar kualitas VCO menurut APCC (2004) disajikan pada Tabel 4.
Tabel 4. Standar Kualitas VCO menurut APCC (2004)
No.
Karakteristik
Nilai Standar
1.
Bobot jenis pada suhu 30oC
0,915 – 0.920
2.
Bahan yang menguap pada suhu 105oC
0,2%
3.
Indeks bias pada suhu 40 oC
1,4480 – 1,4492
4.
Bilangan penyabunan
250 – 260
5.
Angka Iodin
4,1 – 11,0
6.
Bilangan Polenske
13
7.
Nilai asam
Maks 0,5
(Sumber: APCC, 2004)
2.4.2. Manfaat Virgin Coconut Oil (VCO)  
Virgin Coconut Oil (VCO) berdasarkan kandungan asam lemaknya digolongkan ke dalam minyak laurat. Klasifikasi ini dilakukan karena kandungan asam laurat VCO paling besar dibandingkan dengan asam lemak lainnya. VCO mengandung 90% asam lemak jenuh yang terdiri atas asam laurat, miristat, dan palmitat. Kandungan asam lemak jenuh dalam VCO didominasi oleh asam laurat dan asam miristat, sedangkan kandungan asam lemak lainnya lebih rendah. Tingginya asam lemak jenuh yang dikandungnya menyebabkan VCO tahan terhadap proses ketengikan akibat oksidasi. Komponen penting penyusun produk VCO adalah asam laurat. Kandungan asam laurat yang tinggi dari VCO merupakan ciri khas produk ini (Syah, 2005b).
Dalam tubuh asam laurat diubah menjadi monolaurin yang mengandung antibiotik alami sehingga mampu membunuh berbagai jenis kuman, virus, mikroorganisme dengan cara merusak membran yang membungkus sel yang terdiri dari asam lemak. Selain itu kandungan asam lauratnya setara dengan air susu ibu (ASI). Manfaat asam lemak jenuh dan Medium Chain Fatty Acid (MCFA) pada VCO sama seperti pada air susu ibu (ASI), yaitu dapat memberi gizi serta melindungi tubuh dari penyakit menular dan penyakit degenerative (Sutarmi dan Rozaline, 2005).
VCO disamping mengandung asam laurat, juga mengandung vitamin E yang baik untuk kesehatan (Amin, 2009). VCO yang diperoleh melalui proses basah memliki efek yang bermanfaat dalam menurunkan komponen lipid. Polifenol VCO juga mampu mencegah oksidasi LDL (Low Density Lipoprotein) (Nevin dan Rajamohan, 2004). VCO mengandung komponen tidak tersabunkan seperti vitamin E dan polifenol yang berfungsi sebagai antioksidan dan mencegah peroksidasi lipid. (Nevin dan Rajamohan, 2006). Dalam tubuh MCFA dapat berperan sebagai antioksidan dengan cara melindungi asam lemak tak jenuh dari oksidasi. Konsumsi VCO secara teratur dapat membantu melindungi tubuh dari radikal bebas (Fife, 2006).
 2.5. Komponen Tidak Tersabunkan
Minyak atau lemak mengandung komponen yang tersabunkan (saponififiable matter) dan komponen tidak tersabunkan (unsaponifiable matter). Komponen yang tersabunkan akan bereaksi dengan basa alkali membentuk sabun. Komponen yang tidak tersabunkan tidak bereaksi dengan basa alkali dan termasuk kelompok lipid nongliseridik antara lain: sterol, vitamin yang larut dalam lemak dan antioksidan alami (Ketaren, 1986).
Penetapan komponen tidak tersabunkan dilakukan berdasarkan prinsip like dissolve like. Senyawa nonpolar akan tertarik pada pelarut nonpolar dan sebaliknya, senyawa polar akan tertarik pada pelarut polar. Proses pendahuluannya adalah memisahkan komponen tidak tersabunkan dengan komponen tersabunkan melalui reaksi penyabunan menggunakan kalium hidroksida (KOH) sebagai basa (Gustiani, 2008).
Reaksi penyabunan merupakan reaksi hidrolisis lemak atau minyak dengan menggunakan basa kuat seperti natrium hidroksida (NaOH) atau kalium hidroksida (KOH) sehingga menghasilkan gliserol dan garam asam lemak atau sabun. Reaksi penyabunan disebut juga reaksi saponifikasi. Jika minyak atau lemak disabunkan dengan larutan KOH berlebihan dalam alkohol maka KOH akan bereaksi dengan trigliserida yaitu tiga molekul KOH bereaksi dengan satu molekul minyak atau lemak (Ketaren, 1986). Reaksi penyabunan disajikan pada Gambar 1.
                                             Gambar 1. Reaksi Saponifikasi (Ketaren, 1986)
Sabun yang terbentuk dipisahkan secara ekstraksi menggunakan pelarut nonpolar n-heksana. Pelarut nonpolar ini akan menarik komponen yang tidak tersabunkan. Selanjutnya pelarut nonpolar ini diuapkan (68,742 oC) untuk mendapatkan residu berupa campuran dari komponen tidak tersabunkan dan sisa asam lemak (Gustiani, 2008). Komponen tidak tersabunkan yang akan diidentifikasi dalam penelitian ini adalah senyawa α-tokoferol.
Tokoferol merupakan antioksidan alami yang paling popular (Buck 1996). Tokoferol dan tokotrienol terkandung pada beberapa bahan pangan alami yang bersumber pada hewan dan tumbuhan. Bahan pangan yang bersumber pada hewan mengandung tokoferol yang jumlahnya tergantung pada pakan hewan. Kandungan tokoferol dan tokotrienol pada bahan pangan bersumber pada tumbuhan tergantung pada varietas, kondisi pertumbuhan, pemrosesan serta penyimpanan. Bahan pangan tersebut meliputi sereal, minyak biji-bijian, kacang serta tumbuhan seperti buncis dan wortel (Schuler, 1990). Struktur α-tokoferol disajikan pada Gambar 2.


Gambar 2. Struktur α-tokoferol (Schuler, 1990).
Sifat kimia fisik α-tokoferol sebagai berikut (Schuler, 1990) :
Rumus molekul           : C29H50O2
Berat molekul              : 430.72
Deskripsi                    : Tokoferol merupakan senyawa berminyak yang berwarna kuning pucat, dapat teroksidasi dan berwarna gelap dalam udara dan dengan adanya cahaya.
Untuk menganalisis kandungan tokoferol pada sampel minyak dilakukan cold saponification (Dionisi et. al dalam Fatimah, 2005). Saponifikasi bertujuan untuk menghilangkan komponen tersabunkan (trigliserida) agar analisis kandungan tokoferol yang merupakan komponen minor dapat menghasilkan pemisahan yang baik. Komponen tidak tersabunkan dalam minyak dapat diidentifikasi menggunakan High Performance Liquid Chromatography (HPLC) atau Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT).
2.6. High Performance Liqiud Chromatography (HPLC)
High Performance Liquid Chromatography (HPLC) adalah pemisahan dan pengukuran senyawa berdasarkan partisi antara fase gerak (cair) dan fase diam (kolom) (Preedy and Watson, 2007). Prinsip dasar dari HPLC adalah memisahkan setiap komponen dalam sampel untuk selanjutnya diidentifikasi (kualitatif) dan dihitung berapa konsentrasi dari masing-masing komponen tersebut (kuantitatif). Dua hal utama dalam metode HPLC, yaitu yang pertama adalah proses separasi atau pemisahan dan yang kedua adalah proses identifikasi. Setelah komponen dalam sampel berhasil dipisahkan, tahap selanjutnya adalah proses identifikasi (Riyadi, 2009).
Hasil analisis HPLC diperoleh dalam bentuk signal kromatogram. Dalam kromatogram akan terdapat peak-peak (puncak-puncak) yang menggambarkan banyaknya jenis komponen dalam sampel. Sampel yang mengandung banyak komponen didalamnya akan mempunyai kromatogram dengan banyak peak. Bahkan tak jarang antar peak saling bertumpuk. Hal ini akan menyulitkan dalam identifikasi dan perhitungan konsentrasi (Riyadi, 2009).
HPLC adalah salah satu metode yang dapat digunakan untuk analisis senyawa dengan cara membandingkan dengan data standar golongan senyawa yang diduga terkandung di dalam sampel dengan syarat kondisi pemisahan yang dilakukan sama dengan kondisi pemisahan data standar.
Penggunaan puncak sebagai cara untuk mengukur kuantitas dari senyawa yang dihasilkan dan melihat waktu retensi dari senyawa standar tersebut. Waktu retensi adalah waktu yang dibutuhkan oleh senyawa untuk bergerak melalui kolom menuju detektor. Waktu retensi diukur berdasarkan waktu dimana sampel diinjeksikan sampai sampel menunjukkan ketinggian puncak yang maksimum dari senyawa itu. Waktu retensi akan sangat bervariasi dan bergantung pada tekanan yang digunakan (karena itu akan berpengaruh pada laju alir dari pelarut), kondisi dari fase diam (tidak hanya terbuat dari material apa, tetapi juga pada ukuran partikel) dan komposisi yang tepat dari pelarut serta temperatur pada kolom. HPLC bermanfaat untuk analisis zat yang tidak mudah menguap, sangat selektif dan hanya memerlukan sampel berjumlah sedikit serta dapat digunakan untuk analisis kuantitatif (Khopkar, 2007).

III. METODOLOGI PENELITIAN
3.1.  Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di laboratorium Science Advance dan laboratorium Kimia Organik Jurusan Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) UNSRAT Manado dan untuk analisis komponen yang tidak tersabunkan di lakukan di laboratorium Kimia Organik F-MIPA Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta. Waktu untuk melaksanakan penelitian ini yaitu 4 bulan (Februari – Mei) tahun 2011.
3.2.  Alat dan Bahan
3.2.1.  Alat
Peralatan yang digunakan pada penelitian ini adalah parutan kelapa, Mixer, wadah-wadah plastik, timbangan analitik, gelas ukur, erlemneyer, gelas kimia, labu takar, pipet tetes, batang pengaduk, sudip, gelas arloji, cawan porselin, piknometer, sentrifuge, oven, desikator, pengaduk magnetik, corong pisah, satu set alat evaporator dan satu set alat HPLC (Shimadzu LC 10A) yang terdiri dari detektor Fluorescence (panjang gelombang eksitasi: 300 nm dan emisi: 330 nm),  dan kolom (Shim. pack. CLC. Silika dengan panjang 15 cm dan diameter 0,4 cm).
3.2.2.  Bahan
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah daging buah kelapa tua varietas dalam (Cocos nucifera L.) untuk membuat Virgin Coconut Oil (VCO), air kelapa, etanol (C2H5OH), kalium hidroksida (KOH), natrium sulfat (Na2SO4) anhidrad, natrium klorida (NaCl), etanol (C2H5OH) 80%, aquades, asam askorbat (C6H8O6), n-heksan (C6H14), aluminium foil dan kertas saring.
3.3.  Prosedur Penelitian
3.3.1.  Pembuatan Virgin Coconut Oil (VCO) dengan Metode Mixing (Liputo, 2007)
Daging buah kelapa tua yang sudah diparut ditimbang sebanyak 3500 g kemudian dicampur 7 L dengan air kelapa, kelapa parut diremas-remas selama ± 10 menit dan diperas. Hasil perasan berupa santan didiamkan selama 2 jam sampai terbentuk dua lapisan yaitu krim dan skim. Setelah terbentuk 2 lapisan, diambil krimnya secara hati-hati. Krim tersebut kemudian di mixing selama 1 jam.  Setelah itu krim dimasukkan ke dalam suatu wadah untuk didiamkan selama 10 jam sampai terbentuk 3 lapisan antara lain minyak, blondo dan air. Selanjutnya minyak dan blondo dipisahkan menggunakan sentrifuge dengan kecepatan 3000 rpm selama 15 menit. Minyak yang telah dipisahkan kemudian di saring dengan kertas saring.
3.3.2.  Rendemen Virgin Coconut Oil (VCO)
Rendemen (%) Virgin Coconut Oil (VCO) dihitung berdasarkan berat VCO yang diperoleh (g) dibandingkan dengan berat daging kelapa parut (g) yang digunakan.
Rendemen minyak =  × 100%
Keterangan: A = berat VCO yang diperoleh (g)
                     B = berat daging kelapa parut (g)
3.3.3.  Analisis Kualitas Virgin Coconut Oil (VCO)
3.3.3.1.  Kadar Air (Sudarmadji et al. dalam Wardani, 2007)
Penentuan kadar air VCO dilakukan dengan metode pemanasan oven. VCO ditimbang sebanyak ± 3 gram di dalam cawan porselin, dimasukkan dalam oven dengan temperatur 105 oC selama 3 jam kemudian didinginkan dalam desikator selama 30 menit lalu ditimbang, kemudian dipanaskan kembali dalam oven dan didinginkan lagi sampai diperoleh berat konstan.
Kadar air (%)  =  × 100%
Keterangan: A = berat minyak sebelum dipanaskan (g)
                     B = berat minyak setelah dipanaskan (g)
3.3.3.2.  Bobot Jenis (Ketaren, 1986)
1. Pikometer dibersihkan dan dikeringkan, kemudian diisi dengan air suling yang telah mendidih dan didinginkan pada suhu 20 oC - 23 oC. Piknometer diisi sampai air dalam bobot meluap dan tidak terbentuk gelembung udara. Piknometer ditutup dengan penutup yang dilengkapi termometer, kemudian piknometer direndam dalam bak air yang bersuhu 25 oC ± 0,2 oC dan dibiarkan pada suhu yang konstan selama 30 menit. Piknometer diangkat dari bak air dan dikeringkan. Piknometer dengan isinya ditimbang. Bobot air adalah selisih bobot piknometer dengan isinya dikurangi bobot piknometer kosong.
2. Minyak disaring dengan kertas saring, lalu didinginkan sampai 20 oC – 23 oC, kemudian dimasukkan ke dalam piknometer sampai meluap dan diusahakan agar tidak terbentuk gelembung udara. Piknometer ditutup dengan penutup yang dilengkapi termometer, minyak yang meluap dan menempel diluar piknometer dibersihkan, kemudian piknometer direndam dalam bak air yang bersuhu 25 oC ± 0,2 oC dan dibiarkan pada suhu yang konstan selama 30 menit. Dengan hati-hati piknometer diangkat dari bak air, dibersihkan dan dikeringkan. Piknometer dengan isinya ditimbang. Bobot minyak adalah selisih berat piknometer beserta isinya dikurangi berat piknometer kosong. Bobot jenis minyak pada suhu 25 C adalah:
Bobot jenis VCO pada suhu 30 oC dapat dihitung menggunakan rumus:
                  G’ = G + 0,0007 (T - 25 oC)
Ket: G = bobot jenis pada 25 oC
        G’ = bobot jenis pada T/25 oC
         T = suhu minyak (T)
3.3.4.  Ekstraksi Komponen Tidak Tersabunkan dengan Metode Saponifikasi Dingin (Dionisi et. al., 1995 dalam Fatimah, 2005)
Sebanyak 2 gram minyak dilarutkan dengan 3 ml air dan 20 ml etanol dalam erlenmeyer 50 ml. Sebanyak 3 gram kalium hidroksida (KOH) dan 0,1 gram asam askorbat ditambahkan. Larutan diaduk dengan pengadukan magnet selama 1 jam pada suhu ruang dan tanpa adanya cahaya. Larutan kemudian diekstraksi dengan n-heksana (2 × 30 ml). Lapisan organik hasil ekstrak dicuci dengan air, dikeringkan dan disaring menggunakan kertas saring kemudian dievaporasi. Selanjutnya ekstrak yang diperoleh dianalisis menggunakan High Performance Liqiud Chromatography (HPLC).
3.3.5. Ekstraksi Komponen Tidak Tersabunkan Secara Langsung (Muis, 2007)
Sebanyak 40 gram VCO dimasukkan ke dalam Erlenmeyer yang dilapisi aluminium foil untuk menghindari kontak dengan cahaya, kemudian diekstraksi dengan pelarut etanol 80% sebanyak 160 mL. Ekstraksi dilakukan selama 24 jam selanjutnya dipindahkan ke dalam labu pisah kemudian didiamkan selama 30 menit untuk memisahkan antara minyak dan pelarut, lapisan bawah merupakan minyak residu VCO (RVCO), sedangkan lapisan atas merupakan campuran etanol 80% dengan komponen ekstrak kemudian dievaporasi dengan rotary evaporator untuk menghilangkan pelarutnya sehingga diperoleh ekstrak VCO (EVCO). Selanjutnya ekstrak VCO yang diperoleh dianalisis menggunakan High Performance Liqiud Chromatography (HPLC).
VI. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1.  Rendemen Virgin Coconut Oil (VCO)
Rendemen merupakan perbandingan antara berat VCO (Virgin Coconut Oil) yang diperoleh dengan berat daging kelapa parut yang digunakan. Rendemen dihitung untuk mengetahui kadar VCO yang diperoleh dari banyaknya kelapa parut yang digunakan. Pada penelitian ini, pembuatan VCO dilakukan dengan cara pengadukan (mixing), lama pengadukan untuk pembuatan VCO yaitu 60 menit dengan kecepatan putaran mixer 1200 rpm. Pada metode mixing, pengadukan dalam pembuatan (VCO) bertujuan untuk memecah emulsi dalam santan atau merusak kestabilan lipoprotein sehingga akhirnya minyak dan air dapat terpisah (Cahyana dalam Koapaha, 2006). Rendemen VCO yang dibuat dengan metode mixing disajikan pada Gambar 3.

Gambar 3. Rendemen VCO yang dibuat dengan metode mixing
Berdasarkan Gambar 3. rendemen VCO dari pengolahan daging buah kelapa dengan metode mixing yaitu 17,764%. Bila dilihat pada penelitian sebelumnya (Liputo, 2007) rendemen VCO yang dihasilkan yaitu 17,698%. Hal ini menunjukkan bahwa dengan menggunakan metode pembuatan VCO yang sama (metode mixing), maka tidak terjadi perbedaan yang besar antara rendemen VCO pada penelitian ini dengan rendemen VCO pada penelitian Liputo (2007). 
4.2.  Analisis Kualitas Virgin Coconut Oil (VCO)
Parameter kualitas yang diukur pada penelitian ini adalah kadar air dan bobot jenis menurut standar APCC (2004).
4.2.1.  Kadar Air
Kadar air adalah jumlah (dalam %) bahan yang menguap pada pemanasan dengan suhu dan waktu tertentu. Penentuan kadar air VCO dilakukan untuk mengetahui seberapa besar kandungan air yang terdapat pada VCO sebab kadar air merupakan parameter yang mempengaruhi tingkat ketahanan VCO terhadap kerusakan. Menurut Ketaren (1986), terdapatnya sejumlah air dalam minyak atau lemak mengakibatkan terjadinya reaksi hidrolisis. Reaksi hidrolisis minyak disajikan pada Gambar 4. 
Gambar 4. Reaksi hidrolisis trigliserida menjadi gliserol dan asam lemak (Ketaren, 1986)
Reaksi hidrolisis akan menghasilkan flavour  dan bau tengik pada VCO. Dengan adanya air, minyak atau lemak akan diubah menjadi gliserol dan asam lemak bebas. Jika VCO tersebut banyak mengandung air, kemungkinan besar jumlah asam lemak bebas minyak akan besar pula, akibatnya kualitas VCO tersebut akan menurun. Kadar air yang rendah mengurangi resiko ketengikan pada VCO. Hasil uji kadar air VCO yang dibuat dengan metode mixing dan VCO komersial disajikan pada Gambar 5.
         Gambar 5. Hasil uji kadar air VCO yang dibuat dengan metode mixing   dan VCO komersial
Berdasarkan Gambar 5. kadar air dari VCO yang dibuat dengan metode mixing yaitu 0,036% sedangkan untuk VCO komersial yaitu 0,031%. Menurut APCC (2004), standar kadar air VCO yaitu maksimum 0,2%. Dengan demikian kadar air dari VCO yang dibuat dengan metode mixing tersebut sesuai dengan standar kualitas VCO menurut APCC (2004). VCO yang memiliki kadar air yang rendah menunjukkan bahwa VCO tersebut memiliki kualitas yang baik.
4.2.2.  Bobot Jenis
Bobot jenis merupakan salah satu kriteria dalam menentukan kualitas dan kemurnian minyak nabati. Bobot jenis minyak dinyatakan sebagai perbandingan berat dari volume minyak pada suhu 25oC dengan berat air pada volume dan suhu yang sama. Penentuan bobot jenis dilakukan menggunakan alat piknometer (Ketaren, 1986).
Bobot jenis minyak dipengaruhi oleh berat molekul dan komponen-komponen dalam minyak, serta ketidakjenuhan komponen asam lemak minyak. Semakin banyak komponen yang terkandung dalam minyak, maka akan semakin besar berat molekul minyak atau lemak, sehingga bobot jenisnya pun akan semakin tinggi. Ketidakjenuhan komponen asam lemak yang tinggi, juga akan menaikkan nilai bobot jenis minyak (Gustiani, 2008). Hasil uji bobot jenis VCO yang dibuat dengan metode mixing dan VCO komersial disajikan pada Gambar 6.
        Gambar 6. Hasil uji bobot jenis VCO yang dibuat dengan metode mixing dan VCO komersial
Dari hasil penelitian ini diperoleh, bahwa bobor jenis VCO yang dibuat dengan metode mixing yaitu 0,916 sedangkan bobot jenis untuk VCO komersial yaitu 0,915. Hasil analisis bobot jenis Virgin Coconut Oil (VCO) menunjukkan bahwa bobot jenis VCO pada penelitian ini sesuai dengan standar berat jenis menurut APCC (2004) yaitu sebesar 0,915 – 0,920.
4.3.  Komponen Tidak Tersabunkan dalam VCO yang dibuat dengan Metode Mixing
4.3.1.  Rendemen Komponen Tidak Tersabunkan dalam VCO
Rendemen komponen tidak tersabunkan merupakan perbandingan antara berat ekstrak komponen tidak tersabunkan yang diperoleh dengan berat VCO yang digunakan. Pada penelitian ini komponen tidak tersabunkan diekstraksi dengan dua metode yaitu ekstraksi dengan metode  saponifikasi dingin dan ekstraksi secara langsung menggunakan pelarut etanol 80%.
4.3.1.1.  Rendemen Komponen Tidak Tersabunkan yang diekstraksi dengan Metode Saponifikasi Dingin
Metode saponifikasi dilakukan untuk menghilangkan komponen tersabunkan (trigliserida) agar kandungan komponen tidak tersabunkan yang merupakan komponen minor dapat menghasilkan pemisahan yang baik. Pada metode ini, saponifikasi dilakukan dalam kondisi dingin dengan tujuan agar kandungan komponen tidak tersabunkan dalam ekstrak tidak rusak akibat adanya pemanasan. Komponen yang tersabunkan bereaksi dengan kalium hidroksida (KOH) membentuk sabun kalium.
Sabun yang terbentuk dipisahkan secara ekstraksi menggunakan pelarut nonpolar (n-heksana). n-heksana tidak berwarna dan mudah menguap, tidak larut dalam air serta digunakan sebagai pelarut khususnya untk minyak nabati (Hawley, 1981). Lapisan organik hasil ekstrak dicuci dengan air. Pelarut nonpolar ini akan menarik komponen yang tidak tersabunkan. Rendemen ekstrak komponen tidak tersabunkan yang diperoleh melalui ekstraksi dengan metode saponifikasi dingin disajikan pada Gambar 7.
  Gambar 7. Rendemen ekstrak komponen tidak tersabunkan yang diekstraksi
                        dengan metode saponifikasi dingin.
Berdasarkan Gambar 7. rendemen ekstrak komponen yang tidak tersabunkan dari sampel VCO yang dibuat dengan metode mixing adalah 0,03% sedangkan rendemen ekstrak komponen tidak tersabunkan dari sampel VCO komersial adalah 0,025%. Hal ini berarti bahwa VCO yang dibuat dengan metode mixing mengandung komponen tidak tersabunkan yang lebih besar dari VCO komersial.
4.3.1.2.  Rendeman Komponen Tidak Tersabunkan yang diekstraksi dengan Metode Ekstraksi Langsung
Metode ekstraksi VCO dilakukan menggunakan pelarut etanol 80%. Metode Ekstraksi ini menggunakan cara maserasi selama 24 jam sambil diaduk dengan pengaduk magnetik stirrer selanjutnya dipindahkan kedalam labu pisah kemudian didiamkan untuk memisahkan antara minyak dan pelarut. Lapisan bawah merupakan minyak residu VCO sedangkan lapisan atas  merupakan campuran etanol 80% dan komponen ekstrak yang kemudian dievaporasi menggunakan rotary evaporator untuk menghilangkan pelarutnya sehingga diperoleh ekstrak VCO. Rendemen ekstrak komponen tidak tersabunkan yang diperoleh melalui metode ekstraksi disajikan pada Gambar 8.
     Gambar 8. Rendemen ekstrak komponen tidak tersabunkan yang diekstrak ekstraksi secara langsung menggunakan pelarut etanol 80%.
Berdasarkan Gambar 8. rendemen komponen tidak tersabunkan dari sampel VCO yang dibuat dengan metode mixing yaitu 43,151% sedangkan rendemen komponen tidak tersabunkan untuk VCO komersial yaitu 42,628%. Hal ini menunjukkan bahwa rendemen komponen tidak tersabunkan dari VCO yang dibuat dengan metode mixing lebih besar dari VCO komersial baik yang diekstraksi dengan metode saponifikasi dingin maupun yang diekstraksi menggunakan pelarut etanol 80%. Jika dibandingkan dengan metode saponifikasi dingin, rendemen komponen tidak tersabunkan yang diperoleh pada metode ini lebih banyak. Hal ini disebabkan masih ada pelarut etanol yang tidak teruapkan ketika proses evaporasi dilakukan walaupun proses evaporasi dilakukan pada suhu 78oC (titik didih etanol) sehingga diduga masih terdapat pelarut dalam ekstrak dan ini mempengaruhi berat ekstrak yang dihasilkan. Pemanasan yang lebih tinggi dikhawatirkan akan merusak komponen tidak tersabunkan yang terdapat dalam ekstrak.
4.3.2.  Kandungan Komponen Tidak Tersabunkan dalam VCO yang dibuat dengan Metode Mixing
4.3.2.1.  Analisis Kualitatif Senyawa α-tokoferol dalam Ekstrak VCO
Kromatogram HPLC berupa puncak-puncak yang menunjukkan kandungan senyawa dalam sampel. Dalam penelitian ini, larutan standar yang digunakan adalah larutan standar α-tokoferol sehingga hanya puncak α-tokoferol yang dapat diidentifikasi dalam kromatogram. Analisis kualitatif untuk komponen α-tokoferol dalam ekstrak dilakukan dengan mencocokkan waktu retensi dari masing-masing puncak pada kromatogram sampel dengan waktu retensi senyawa α- tokoferol standar.
a.      Analisis Kualitatif Senyawa α-tokoferol dari VCO yang diekstrak dengan Metode Saponifikasi Dingin
Kromatogram HPLC hasil analisis komponen tidak tersabunkan dari VCO yang dibuat dengan metode mixing dan diekstraksi dengan metode saponifikasi dingin disajikan pada Gambar 9.



      Ket: HPLC (Shimadzu LC 10A): detektor Fluoresence (ex: 300 nm; em: 330 nm), kolom (Shim. Pack. CLC. Silika panjang 15 cm; diameter 0,4 cm), fase gerak 0,37 etanol dalam n-heksan dengan kecepatan alir 1 mL/menit.


Peak
 Number
Time
Area
Height
Conc
1
1,667
4230481
186041
99,9721
2
3,067
1146
261
0,0271


4231627
186302
100,0000





Gambar 9. Kromatogram ekstrak komponen tidak tersabunkan dari VCO yang dibuat dengan metode mixing dan diekstraksi dengan metode saponifikasi dingin.
Puncak nomor 1 dengan waktu retensi 1,667 menit adalah puncak untuk pelarut yang digunakan ketika ekstraksi yaitu n-heksana. Puncak 2 diduga merupakan komponen tidak tersabunkan yang terkandung dalam VCO yang dibuat dengan metode mixing. Pada kromatogram tersebut tidak terdapat puncak untuk α-tokoferol. Hal ini dikarenakan pada saat dilakukan proses ekstraksi diduga α-tokoferol yang terkandung dalam VCO telah teroksidasi oleh udara. Menurut Schuler (1990) tokoferol merupakan senyawa berminyak yang berwarna kuning pucat dan dapat teroksidasi oleh adanya udara.
Berdasarkan kromatogram ekstrak komponen tak tersabunkan dari VCO komersial dan diekstraksi dengan metode saponifikasi dingin terdapat empat puncak. Puncak pertama merupakan puncak dari pelarut yaitu pelarut yang digunakan ketika ekstraksi (n-heksan). Puncak kedua, ketiga dan keempat merupakan puncak untuk senyawa komponen tidak tersabunkan lainnya yang terkandung dalam VCO komersial. Ketiga puncak tersebut tidak dapat diidentifikasi karena pada penelitian ini standar yang dipakai adalah senyawa α-tokoferol.
Pada kromatogram, tidak teridentifikasi adanya senyawa α-tokoferol. Hal ini dikarenakan pada saat dilakukan proses ekstraksi diduga α-tokoferol yang terkandung dalam VCO telah teroksidasi oleh udara. Menurut Schuler (1990) tokoferol merupakan senyawa berminyak yang berwarna kuning pucat dan dapat teroksidasi oleh adanya udara. Kromatogram HPLC hasil analisis komponen tidak tersabunkan dari VCO komersial dan diekstraksi dengan metode saponifikasi dingin disajikan pada Gambar 10.





 

Ket: HPLC (Shimadzu LC 10A): detektor Fluoresence (ex: 300 nm; em: 330 nm), kolom (Shim. Pack. CLC. Silika panjang 15 cm; diameter 0,4 cm), fase gerak 0,37 etanol dalam n-heksan dengan kecepatan alir 1 mL/menit.


         Peak
Number
Time
Area
Height
Conc
1
1,900
742624
26784
65,0242
2
2,400
5624
528
0,4925
3
5,589
13086
919
1,1458
4
10,825
380738
10783
33,3375


1142073
39014
100,0000

Gambar 10. Kromatogram ekstrak komponen tidak tersabunkan dari VCO komersial yang diekstraksi dengan metode saponifikasi dingin
b.  Analisis Kualitatif Senyawa α-tokoferol Standar dari VCO yang diekstrak dengan Metode Ekstraksi Langsung
Kromatogram hasil analisis HPLC komponen tidak tersabunkan dari VCO komersial dan diekstraksi dengan metode ekstraksi secara langsung disajikan pada Gambar 11.
Ket: HPLC (Shimadzu LC 10A): detektor Fluoresence (ex: 300 nm; em: 330 nm), kolom (Shim. Pack. CLC. Silika panjang 15 cm; diameter 0,4 cm), fase gerak 0,37 etanol dalam n-heksan dengan kecepatan alir 1 mL/menit.


   













Gambar 11. Kromatogram ekstrak komponen tidak tersabunkan dari VCO yang dibuat dengan metode mixing dan diekstraksi  dengan metode ekstraksi secara langsung.
Analisis HPLC ekstrak komponen tidak tersabunkan dengan metode ekstraksi langsung menggunakan etanol 80% dari VCO yang dibuat dengan metode mixing menunjukkan 4 puncak. Puncak pertama merupakan puncak dari pelarut (etanol 80%). Puncak kadua dan ketiga merupakan senyawa dari komponen tidak tersabunkan yang terkandung dalam VCO yang dibuat dengan metode mixing. Kedua komponen tersebut tidak dapat diidentifikasi karena senyawa standar yang digunakan hanya senyawa α-tokoferol yang memiliki waktu retensi pada menit ke-tujuh. Puncak keempat merupakan puncak dari senyawa α-tokoferol dengan waktu retensi 7,001. Menurut Neil (2006), α-tokoferol tidak larut dalam air, larut dalam aseton, kloroform, eter, dan sedikit larut dalam alkohol.
Analisis HPLC ekstrak komponen tidak tersabunkan dari VCO komersial yang diekstraksi dengan metode ektraksi langsung, hanya menghasilkan 2 puncak. Puncak 1 merupakan puncak dari pelarut yang digunakan ketika ekstraksi yaitu etanol 80% sedangkan puncak kedua merupakan puncak dari senyawa komponen tidak tersabunkan.
Menurut Neil (2006), α-tokoferol sedikit larut dalam alkohol tetapi pada kromatogram dari sampel VCO komersial tidak menunjukkan adanya senyawa α-tokoferol. Hal ini disebabkan oleh proses produksi VCO komersial mengalami proses pemurnian untuk mengurangi kadar air yang juga berpengaruh terhadap kadar tokoferol dalam VCO tersebut, juga diduga senyawa α-tokoferol telah teroksidasi oleh  udara ketika proses ekstraksi dilakukan. Menurut Schuler (1990) α-tokoferol dapat teroksidasi oleh adanya udara.
Kromatogram hasil analisis HPLC komponen tidak tersabunkan dari VCO komersial dan diekstraksi dengan metode ekstraksi secara langsung disajikan pada Gambar 12.






Ket: HPLC (Shimadzu LC 10A): detektor Fluoresence (ex: 300 nm; em: 330 nm), kolom (Shim. Pack. CLC. Silika panjang 15 cm; diameter 0,4 cm), fase gerak 0,37 etanol dalam n-heksan dengan kecepatan alir 1 mL/menit.

Gambar 12. Kromatogram ekstrak komponen tidak tersabunkan dari VCO komersial yang diekstraksi dengan metode ekstraksi secara langsung.
c.       Perbandingan Metode Saponifikasi dan Metode Ekstraksi Secara Kualitatif
Secara kualitatif, metode saponifikasi dan metode ekstraksi langsung dibandingkan dengan cara melihat jumlah puncak yang muncul pada kromatogram hasil analisis dengan HPLC. Setiap puncak mewakili satu senyawa yang terdapat dalam sampel. Jumlah puncak yang muncul dari setiap kromatogram diberikan pada Tabel 5.
Tabel 5. Jumlah Komponen dari Setiap Sampel VCO
Metode
Sampel
Jumlah Komponen
Saponifikasi Dingin
A
1
B
3
Ekstraksi Langsung
A
3
B
1
Ket :
A = VCO yang dibuat dengan metode mixing
B = VCO komersial
BerdasarkanTabel 5. dapat dilihat bahwa terdapat 2 komponen untuk sampel VCO yang dibuat dengan metode mixing dan diekstraksi dengan metode saponifikasi dingin, sedangkan untuk VCO komersial yang diekstraksi dengan metode saponifikasi dingin terdapat empat komponen. Pada metode ekstraksi langsung terdapat dua komponen untuk sampel VCO yang dibuat dengan metode mixing, sedangkan pada sampel VCO komersial terdapat dua komponen. Hal ini berarti bahwa terdapat lebih dari satu senyawa yang terkandung dalam komponen tidak tersabunkan yang diekstraksi dengan metode saponifikasi dingin maupun yang diekstraksi menggunakan pelarut etanol 80%.

4.3.2.2 Analisis Kuantitatif α-tokoferol dalam Virgin Coconut Oil (VCO)
Untuk analisis kuantitatif, luas area dari puncak-puncak kromatogram larutan standar α-tokoferol diplot ke dalam persamaan regresi linier (Lampiran 5). Persamaan regresi yang diperoleh yaitu, y = 20937.21 + 7129.41x  dengan koefisien korelasi sebesar 0,999.
a. Konsentrasi α-tokoferol dalam Ekstrak Virgin Coconut Oil (VCO)
Konsentrasi α-tokoferol dihitung untuk mengetahui kandungan α-tokoferol dalam ekstrak VCO. Ekstraksi dilakukan dengan dua metode yaitu ekstraksi cair-cair tanpa saponifikasi (ekstraksi menggunakan pelarut etanol 80%) dan ekstraksi menggunakan pelarut setelah saponifikasi dingin. VCO yang digunakan yaitu VCO yang dibuat dengan metode mixing dan VCO komersial.
Berdasarkan analisis menggunakan HPLC, maka maka senyawa α-tokoferol yang dapat diidentifikasi hanyalah yang berasal dari sampel VCO yang dibuat dengan metode mixing, hal ini dikarenakan pada saat dilakukan proses ekstraksi menggunakan metode saponifikasi dingin diduga α-tokoferol yang terkandung dalam sampel VCO telah teroksidasi oleh udara. Konsentrasi senyawa α-tokoferol dalam ekstrak VCO yang dibuat dengan metode mixing dan diekstraksi dengan pelarut etanol 80% yaitu 53,9 ppm.
b. Konsentrasi α-tokoferol dalam Virgin Coconut Oil (VCO)
Virgin Coconut Oil (VCO) mengandung tokoferol yang berfungsi sebagai antioksidan alami (Syah, 2005b). Konsentrasi α-tokoferol dalam VCO yang dibuat dengan metode mixing yaitu 23,25 ppm. Hasil analisis menggunakan HPLC dengan fase gerak etanol dan heksan, tidak teridentifikasi adanya senyawa α-tokoferol dalam VCO komersial. Hal ini dipengaruhi oleh proses produksi VCO komersial yang melalui proses pemurnian sehingga kandungan tokoferol di dalam VCO tersebut berkurang.
 V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan 
1.      VCO yang dibuat dengan metode mixing  memiliki 1 komponen tidak tersabunkan sedangnkan VCO komersial memiliki 3 komponen tidak tersabunkan pada ekstraksi dengan metode saponifikasi dingin.  Ekstraksi secara langsung menggunakan pelarut etanol 80%, VCO dibuat dengan metode mixing  memiliki 3 komponen tidak tersabunkan sedangkan VCO komersial memiliki 1 komponen tidak tersabunkan. Konsentrasi α-tokoferol dalam ekstrak VCO yang dibuat dengan metode mixing dan diekstraksi menggunakan pelarut etanol 80% yaitu 53,9 ppm sedangkan konsentrasi α-tokoferol dalam VCO yaitu 23,25 ppm.
2.      Metode ekstraksi secara langsung menggunakan pelarut etanol 80% lebih bagus dalam mengekstrak komponen tidak tersabunkan yang terkandung dalam Virgin Coconut Oil (VCO) yang dibuat dengan metode mixing dibandingkan metode saponifikasi dingin.
5.2. Saran
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk menganalisis senyawa komponen tidak tersabunkan selain α-tokoferol yang terkandung dari VCO yang dibuat dengan metode mixing.


DAFTAR PUSTAKA
Amin, S., 2009. Aneka Peluang Bisnis dari Kelapa. Lily Publisher, Yogyakarta.
APCC. 2004. Asian and Pacific Coconut Community Standart For Virgin Coconut Oil. http://www.apccsec.org/document/VCNO.pdf  [12 April 2011]
Buck, D. F., 1996. Antioxidants, di dalam: Food Additive User’s Handbook. Smith, J. (editor). Blackie Academic and Professional, London, 14.
Fatimah, F., 2005. Efektivitas Antioksidan Dalam Sistem Emulsi Oil-in-Water (O/W) [Disertasi]. Pasca Sarjana IPB, Bogor.
Fessenden R. J. dan Joan S. F. 1986. Kimia Organik Edisi Ketiga. Penerjemah: Aloysius Hadyana Pudjaatmaka. Erlangga, Jakarta.
F. G. Winarno. 1992. Kimia Pangan dan Gizi. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jalarta.
Fife, B. 2006. Virgin Coconut Oil Nature’s Miracle Medicine. Piccadilly Books Ltd. Colorado Springs, USA.
Gustiani, S. H., 2008. Studi Ekstraksi Analisis Minyak Lengkeng [Skripsi]. FMIPA UI, Jakarta.
Hawley, G. G. 1981. The Condensed Chemical Dictionary Tenth Edition. Nostrand Reinhold Company Inc, New York.
Kamal. A dan Eldin., 2005. Minor Components of Fats and Oils. John Wiley & Sons, Inc. Uppsala, Swedia.
Ketaren, S., 1986. Pengantar Teknologi Minyak dan Lemak Pangan. UI Press, Jakarta
Khopkar, S.M., 2007. Konsep Dasar Kimia Analitik. Penerjemah: A. Saptorahardjo. UI Press, Jakarta.
Koapaha, N., 2006. Karakterisasi Virgin Coconut Oil (VCO) yang dihasilkan dari daging buah kelapa (Cocos nucifera L.) Varietas Dalam [Skripsi]. FMIPA UNSRAT, Manado.
Liputo, S. A., 2007. Pengaruh Penyaringan Menggunakan Adsorben Terhadap Kualitas Virgin Coconut Oil (VCO) [Skripsi]. FMIPA UNSRAT, Manado.
Muis, A., 2007. Aktivitas Antioksidan Dan Antifotooksidasi Dari Virgin Coconut Oil (VCO) [Tesis]. Pasca Sarjana UNSRAT, Manado.
Neil, J. M., Patricia, Cherie, Kristin dan Chaterine. 2006. The Merck Index Fourteenth Edition an Encyclopedia of Chemicals, Drugs and Biologicals. Merck dan CO, INC, USA
Naiola, E., 2005. Pembuatan Starter Untuk Ekstraksi Minyak Kelapa Murni (VCO) menggunakan mikroba Amilolitik. [Laporan Penelitian]. Pusat Penelitian Biologi. LIPI.
Nevin, K. G. dan T. Rajamohan. 2004. Beneficial Effects of Virgin Coconut Oil on Lipid Parameters And in Vitro LDL Oxidation. J. Biochem. 33: 830-835.  
Nevin, K. G. and T. Rajamohan. 2006. Virgin Coconut Oil: Supplemented Diet Increases The  Antioxidant Status in Rats. J. Food Chem. 99: 260-266.

Riyadi, W., 2009. Identifikasi signal Kromatogram HPLC. http://wahyuriyadi.blogspot.com/2009/02/identifikasi-signal-kromatogram-hplc.html.[14 Maret 2011].

Schuler, P., 1990. Natural Antioxidants Exploited Commercially, di dalam: Food Antioxidants, Hudson, B. J. F. (Editor), Elsevier Applied Science, London, 99.
Setiadji, B dan S. Prayugo. 2006. Membuat VCO Berkualitas Tinggi. Penebar Swadaya,  Jakarta.
Subroto, M. A., 2006. VCO Dosis Tepat Taklukan Penyakit. Penebar Swadaya, Jakarta.
Sudarmadji, S., Haryono dan Suhardi. 1997. Prosedur Analisa untuk Bahan Makanan dan Pertanian. Liberty, Jakarta.
Sukartin, J.K. dan Sitanggang, M., 2005. Gempur Penyakit dengan VCO. AgroMedia Pustaka, Jakarta.
Sutarmi dan H. Rozaline. 2006. Taklukkan Penyakit Dengan VCO. Penebar Swadaya, Jakarta.
Syah, A. N. A., 2005a. Perpaduan Sang Penakluk Penyakit: VCO + Minyak Buah Merah. Agromedia Pustaka, Tangerang.
Syah, A. N. A., 2005b. Virgin Coconut Oil Minyak Penakluk Aneka Penyakit. Agromedia Pustaka, Tangerang.
Preedy, V.R., R.R. Watson, 2007. The Encyclopedia of Vitamin E. CABI Publishing. London.
Wardani, I. E., 2007. Uji Kualitas VCO Berdasarkan Cara Pembuatan Dari Porses Pengadukan Tanpa Pemancingan dan Proses Pengadukan dengan Pemancingan [Skripsi]. FMIPA UNES, Semarang.
Wehantouw, F., 2007. Potensi Virgin Cococnut Oil (VCO) Sebagai Penangkal Radikal Bebas dan Penstabil Oksigen Singlet [Skripsi]. FMIPA UNSRAT, Manado.


















LAMPIRAN










Lampiran 1. Data hasil perhitungan rendemen Virgin Coconut Oil (VCO)   yang dibuat dengan metode mixing

Ulangan
Berat daging kelapa (g)
Volume krim (mL)
Volume VCO
(mL)
Berat VCO (g)
Rendemen (%)
1.
3500
2135
695
616,173
17,605
2.
3500
2195
702
621,015
17,743
3.
3500
2290
714
628,052
17,944
Rata-rata
3500
2183,333
703
621,746
17,764

Perhitungan Rendemen VCO:
Ulangan 1:
Berat VCO yang diperoleh (A)  = 616,173 g
Berat daging kelapa (B)  = 3500 g
Rendemen minyak  =     × 100%  =  × 100%  = 17,605%
Ulangan 2:
Berat VCO yang diperoleh (A)  = 621,015 g
Berat daging kelapa (B) = 3500 g 
Rendemen minyak  =    × 100%   =  × 100%  = 17,743%
Ulangan 3:
Berat VCO yang diperoleh  (A)  = 628,052 g
Berat daging kelapa (B) = 3500 g
Rendemen minyak  =     × 100% =  × 100%  = 17,944% 

Lampiran 2. Data hasil uji kadar air Virgin Coconut Oil (VCO) dari metode mixing dan VCO komersial

1.   VCO yang dibuat dengan metode mixing
Ulangan
VCO mixing
Kadar air (%)
Berat sampel (g)
sebelum pemanasan (a)
Berat akhir (g) setelah pemanasan (b)
1.
39,4649
39,4519
0,033
2.
38,8442
38,8305
0,035
3.
37,3154
37,3002
0,041
Rata-rata
38,5415
38,5275
0,036

Ulangan 1:   Kadar air  =  × 100%  =  0,033%
Ulangan 2:   Kadar air  =    × 100%  =  0,035%
Ulangan 3:   Kadar air  =   × 100%  =  0,041%

2. VCO Komersial
VCO Komersial
Kadar air (%)
Berat sampel (g)
 sebelum pemanasan
Berat akhir (g)
setelah pemanasan
37,6358
37,6242
0,031

Kadar air   =     ×  100%  =  0,031%


Lampiran 3. Data hasil uji berat jenis Virgin Coconut Oil (VCO) mixing dan VCO komersial
1.   VCO yang dibuat dengan metode mixing
Ulangan
VCO mixing
Volume air (mL)
Berat jenis
(25oC)
Berat jenis (30oC)
Berat sampel dan piknometer (g)
Berat piknometer kosong(g)
1
36,848
27,724
10
0,9124
0,916
2
36,845
27,724
10
0,9121
0,916
3
36,846
27,724
10
0,9122
0,916
Rata-rata
36,846
27,724
10
0,9122
0,916

Berat jenis minyak pada suhu 25 oC dapat dihitung menggunakan rumus:
Standar kualitas berat jenis untuk VCO pada suhu 30oC dapat dihitung menggunakan rumus:        G’ = G + 0,0007 (T-25 oC)
dimana:      G = bobot jenis pada 25 oC
                   G’= bobot jenis pada ToC/25 oC
               T = suhu minyak (oC)
Ulangan 1:
a.    Berat jenis pada suhu 25oC: 
     Berat jenis (25oC)  =   =  0,9124
b.   Berat jenis pada suhu 30oC:
  G’ = G + 0,0007 (T-25oC)
        = 0,9124 + 0,0007 (30oC  ̶  25 oC)  
        = 0,9159
Ulangan 2:
a.    Berat jenis pada suhu 25oC: 
     Berat jenis (25oC)   =     =  0,9121
b.   Berat jenis pada suhu 30oC:
  G’ = G + 0,0007 (T-25oC)
       =  0,9121 + 0,0007 (30oC  ̶  25 oC)
       =  0,9156                                        
Ulangan 3:
a.    Berat jenis pada suhu 25oC: 
     Berat jenis =    =  0,9122
b.   Berat jenis pada suhu 30oC:
  G’ = G + 0,0007 (T-25oC)
       = 0,9122 + 0,0007 (30oC  ̶  25 oC)
       = 0,9157

2.   VCO Komersial
VCO komersial
Berat jenis
(25oC)
Berat jenis (30oC)
Berat sampel dan piknometer (g)
Berat piknometer kosong(g)
36,835
27,724
0,9111
0,915

a.    Berat jenis pada suhu 25oC: 
     Berat jenis =    =  0,9111
b.   Berat jenis pada suhu 30oC:
  G’ = G + 0,0007 (T-25oC)
       = 0,912 +  0,0007 (30oC  ̶  25 oC)
       = 0,9146


Lampiran 4. Rendemen Ekstrak Komponen Tidak Tersabunkan
a. Rendemen Ekstrak Komponen Tidak Tersabunkan yang diekstraksi dengan Metode Saponifikasi Dingin
1. VCO yang dibuat dengan metode mixing
Berat minyak  =  2,013 g
Berat botol kosong  =  65,8075 g
Berat botol + sampel  =  65,8081 g
Rendemen ekstrak =  × 100% = × 100% = 0,03%
2. VCO komersial
Berat minyak  = 2,024 g
Berat botol kosong  =  62,8956 g
Berat botol + sampel  =  62,8961 g
Rendemen ekstrak =  × 100%  = × 100% = 0,025%

b. Rendemen Ekstrak Komponen Tidak Tersabunkan yang diekstraksi dengan Metode Ekstraksi Langsung
1.   VCO yang dibuat dengan metode mixing
Berat minyak =  40,237 g
Berat botol kosong =  67,2809 g
Berat botol + sampel  = 84,6435 g
Rendemen ekstrak =   × 100% =  ×100% = 43,151%
2.   VCO komersial
Berat minyak = 40,258 g
Berat botol kosong = 64,0549 g
Berat botol kosong + sampel = 84,4426 g
Rendemen ekstrak=   × 100%  =  × 100% = 42,628%
Lampiran 5. Kurva Standar Larutan Standar α-tokoferol
Kurva standar dibuat berdasarkan konsentrasi larutan standar α-tokoferol dengan luas area puncak kromatogram dari masing-masing konsetrasi. Data Larutan Standar α-tokoferol.
Konsentrasi (ppm)
Luas Area
Waktu retensi (menit)
5
29816
7.313
10
84146
7.293
100
772362
7.321
1000
7146717
5.502
Kurva Standar Larutan Standar α-tokoferol.

Diperoleh persamaan garis regresi y = 20937.21 + 7129.41x  dengan koefisien korelasi sebesar 0,999. Dari persamaan regresi yang diperoleh, maka konsentrasi α-tokoferol dari setiap sampel ekstrak dapat diketahui.

Lampiran 6. Perhitungan Konsentrasi α-tokoferol
Konsentrasi α-tokoferol dalam ekstrak VCO dan dalam VCO yang diekstraksi dengan metode ekstraksi langsung menggunakan pelarut etanol 80%.   
Persamaan regresi linear : y = 20937,21 + 7129,41x
                                                
Keterangan :  y  =  luas daerah
                       x  =  konsentrasi
1.  VCO yang dibuat dengan metode mixing
                 
            
             ppm
Ekstrak dalam pelarut etanol   =  20,5 mL  ×  bobot jenis etanol
                                                =  20,5 mL  ×  0,8347 g/mL
                                                =  17,111 g
Berat α-tokoferol dalam pelarut  = 
                                                     = 
                                                 =  9,358 × 10-4 g

a.    α-tokoferol dalam ekstrak (ppm) =  × 106 ppm
                                                      =    × 106 ppm
                                                      = 53,9 ppm

b.   α-tokoferol dalam VCO (ppm) = ×106 ppm
                                                               =   × 106 ppm
                                                               =  2,325×10-5 = 23,25 ppm